Paham Dan Gerakan Syi’ah Di Indonesia

Posted by Unknown on Rabu, 09 Oktober 2013 | 0 komentar


Paham Dan Gerakan Syi’ah Di Indonesia | Taktik Kaum Syiah | Waspada Syiah indonesia | Siasat.
Prolog. Syi’ah secara literal bermakna partisan atau pengikut, sedangkan sebagai sebuah paham atau kelompok ia dilabelkan kepada mereka yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah suksesor Nabi Muhammad Saw. dan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak akan jatuh kepada selain Ali dan keturunannya. Mereka ini dalam bidang keilmuwan mengikuti madzhab ahlul bait,  dan secara umum memiliki kesamaan dalam ke-cinta taat-an (devotional love) terhadap Nabi dan keturunannya yang berasal dari jalur putrinya, Fatimah RA istri ‘Ali bin Abi Thalib, khususnya para imam yang mereka anggap ma’shum.

Sebagai bagian dari obyek penelitian, sebagian besar referensi mengenai Syi’ah mengambil perspektif paham atau doktrin yang dipercaya kelompok Syi’ah sebagai topik kajian. Oleh karenanya, sejauh model semacam ini penulis teliti, ada tiga kelompok kajian yang berbeda dalam dunia keislaman. Pertama, buku-buku yang secara khusus menjelaskan dan memaparkan doktrin-doktrin Syi’ah yang kebanyakannya memang ditulis oleh ulama Syi’ah.  Kedua, kajian yang meluruskan, menolak, dan bahkan menyerang kelompok pertama dan dilakukan oleh penganut Sunni atau mungkin mantan Syi’ah.  Ketiga, kajian yang mengupayakan adanya persatuan atau setidaknya mendekatkan berbagai perbedaan doktrin yang terjadi antara Sunni-Syi’ah.  Kelompok yang ketiga ini meski didominasi oleh penulis-penulis Syi’ah, namun juga ada beberapa ulama Sunni yang terlibat di dalamnya.

Penelitian yang menggunakan model studi lapangan (field study) dengan pendekatan sosiologis, antropologis, historis, atau politis terhadap paham atau kelompok Syi’ah masih sangat didominasi oleh sarjana Barat.  Meski demikian, dalam konteks Indonesia jumlah penelitian semacam itu masih sangat minim. Dalam level disertasi –sejauh temuan penulis- hanya ada dua disertasi yang mengupas model keberagaman orang Syi’ah di Indonesia dengan pendekatan studi observatoris. Kedua-duanya dilakukan oleh peneliti Indonesia. Pertama, disertasi Muhammad Baharun (2006) di IAIN Sunan Ampel yang berjudul, “Tipologi Pemahaman Doktrin Syi’ah di Jawa Timur”. Kedua, disertasi dari Zulkifi (2009) di Leiden University dengan judul “The Struggle of the Shi’is in Indonesia”. Ada juga beberapa artikel jurnal yang menggunakan pendekatan serupa, namun kajiannya masih sangat dangkal dan tidak komprehensif.

Sama seperti di dunia Islam pada umumnya, mayoritas kajian tentang Syi’ah di Indonesia masih berkutat pada beberapa doktrin yang dianggap “problematik”, terutama dari perspektif mainstream Muslim Indonesia yang berhaluan Sunni, seperti konsep imamah, nikah mut’ah, keadilan para sahabat, dan persoalan fiqh lainnya. Dalam konteks inilah, penelitian terhadap Syi’ah, bukan hanya sebagai sebuah paham tapi sebagai sebuah kelompok yang riil hidup di Indonesia penting untuk dilakukan. Tulisan ini meski sudah pasti tidak akan mampu memberikan bacaan dan analisa yang sempurna terhadap kelompok Syi’ah Indonesia, namun diharapkan dapat mengisi ruang-ruang kosong terkait kajian Syi’ah di Indonesia.

SEJARAH MASUKNYA SYI’AH DI INDONESIA

Sebagai sebuah gerakan atau kelompok paham, Syi’ah di Indonesia dapat disebutkan memulai perkembangannya pasca revolusi Iran pada tahun 1979. Memanfaatkan momentum kelahiran Iran sebagai “negara Syi’ah” dan euforia revolusi yang menggunakan Islam sebagai dasar perjuangannya, Syi’ah di dunia Islam tidak terkecuali Indonesia mulai berani menunjukkan jati dirinya. Gerakan-gerakannya pun mulai tersusun secara sistematis dalam kerangka kelembagaan atau organisasi-organisasi yang pahamnya berafiliasi terhadap Syi’ah. Hanya saja, ini tidak berarti bahwa sebagai sebuah paham, Syi’ah baru ada pasca 1979. Beberapa pakar sejarah bahkan justru meyakini bahwa orang Syi’ah lah yang pertama kali menyebarkan Islam di Nusantara.

Ada dua teori terkenal terkait kedatangan Islam di Indonesia. Pertama, teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui orang Sunni dan hal itu terbukti dengan fakta mayoritas Muslim Indonesia yang berpaham Sunni. Teori semacam ini semisal diungkapkan oleh Hamka dan Azyumardi Azra, dan teori pertama inilah yang banyak diterima oleh pakar sejarah Indonesia. Kedua, para pendukung teori Syi’ah seperti Fatimi, Jamil, Hasymi, Azmi, Atjeh, dan Sunyoto yang meyakini bahwa eksistensi Syi’ah telah ada sejak awal mula sejarah Islamisasi di Nusantara. Bahkan para pengikut Syi’ah dipercaya memainkan peran yang besar dalam proses Islamisasi tersebut. Penganut teori kedua ini mendasarkan keyakinannya pada banyaknya elemen tradisi Syi’ah yang dapat ditemui dan dipraktekkan di Nusantara.

Aboebakar Atjeh misalnya, adalah satu dari sekian tokoh yang meyakini bahwa di antara penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah ulama Syi’ah. Menurutnya, mazhab Syi’ah dan syafi’i adalah dua kepercayaan yang telah dianut oleh masyarakat Muslim Nusantara periode pertama di Aceh. Ia juga percaya bahwa Maulana Malik Ibrahim, salah seorang walisongo yang makamnya terletak di Gresik, adalah ulama Syi’ah. Selanjutnya, Atjeh juga menegaskan bahwa banyaknya raja-raja, terutama di pulau Jawa dan Sumatera yang bergelar sayyid menunjukkan adanya hubungan raja tersebut dengan ahlul bait.  Penulis melihat bahwa terdapat bias pribadi (personal bias) dalam penelitian yang dilakukan Atjeh ini. Pertama, beberapa argumentasi yang dibangunnya merujuk pada buku-buku karangan tokoh Syi’ah seperti Taba’taba’i. Kedua, Atjeh sendiri kalaupun mungkin bukan penganut Syi’ah, tapi menurut hemat penulis ia adalah pengagum atau setidaknya orang yang simpati terhadap Syi’ah. Hal ini bisa dilihat dari posisi yang diambilnya saat menjelaskan beberapa doktrin yang dipertentangkan antara Sunni dan Syi’ah.

Teori semacam Atjeh di atas ditolak secara total oleh Azyumardi Azra. Menurutnya, pengaruh besar Syi’ah di Indonesia hanya ada setelah terjadinya revolusi Iran 1979 bersamaan dengan dibawanya pemahaman tokoh-tokoh Syi’ah seperti Ali Syari’ati, Khomeini atau Muthahhari melalui berbagai karya-karya mereka yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sementara sebelum itu, kalaupun ada kesamaan antara budaya setempat dengan ajaran Syi’ah, hal itu hanyalah kesamaan yang tidak harus selalu dipahami dari sudut pandang teologi atau pengaruh politik paham Syi’ah. Azra juga menolak asumsi beberapa peneliti yang meyakini bahwa benturan antara paham Syi’ah dan Sunni sudah ada semenjak masa kesultanan Aceh dengan mengatakan bahwa bahkan sampai abad 12 tidak ditemukan benturan ideologis ataupun politis antara Syi’ah dan Sunni di timur tengah. Azra menyimpulkan, “bahwa Syi’ah sebagai suatu ideologi politik-keagamaan tidak pernah berkembang apalagi berkuasa di tempat mana pun di Nusantara ini”.

Oleh karenanya, Jalaluddin Rahmat mengemukakan tiga teori terkait cara Syi’ah masuk ke Indonesia. Pertama, Syi’ah dibawa oleh penyebar Islam awal yang datang ke Indonesia dan ber-taqiyyah  dengan menjalankan mazhab Syafi’i. Mereka menampakkan Syafi’i di luar, namun Syi’ah di dalam. Asumsi ini didukung dengan ditemukannya akulturasi aspek-aspek Syi’ah pada mazhab Syafi’i di Indonesia yang tidak ditemukan di tempat lain. Kedua, Syi’ah tidaklah datang pada Islam periode awal. Adalah ulama Sunni yang membawa Islam ke Indonesia. Syi’ah baru datang kemudian melalui praktek-praktek mistik dan sufistik. Ketiga, Syi’ah baru datang ke Indonesia setelah Revolusi Iran pada tahun 1979 melalalui buku-buku tentang filsafat atau pergerakan yang ditulis tokoh-tokoh Syi’ah Iran.

Penulis percaya bahwa Syi’ah –setidaknya sebagai paham- memang sudah hidup di Indonesia sebelum 1979. Bedanya, revolusi Iran telah merubah Syi’ah yang awal mulanya hanya hidup sebagai kultur di tengah masyarakat (cultural shi’ism) atau hanya disebarkan dalam kalangan keluarga dan komunitas yang sangat terbatas menjadi Syi’ah yang terlembagakan sebagai sebuah institusi (institutional shi’ism) dengan seperangkat pemikiran teologis dan politisnya (theological and political framework). Bahkan bisa dikatakan bahwa revolusi Iran menjadi starting point dan pembuka gerbang pertumbuhan dan perkembangan paham Syi’ah tidak hanya di Indonesia, namun juga di dunia pada umumnya.

KARAKTERISTIK DAN METODE DAKWAH SYIAH INDONESIA

Hingga saat ini belum ditemukan jumlah pasti berapa jumlah pengikut Syi’ah di Indonesia. Beberapa tokoh Syi’ah mencoba memberikan estimasi pengikut Syi’ah di Indonesia, meski tanpa menggunakan basis data yang dapat dipertanggung jawabkan. Muhammad Jawad Mughniyah pernah memperkirakan jumlah Syi’ah di Indonesia sebanyak 1 juta orang. Pada 1995, Muhammad Baragbah, pemimpin pesantren Syi’ah Al-Hadi Pekalongan menyebut angka 20.000 sebagai jumlah pengikut Syi’ah. Sedangkan Dimitri Mahayana, mantan ketua Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), pada tahun 2000 memperkirakan ada sejumlah 3 juta orang Syi’ah di Indonesia.

Dalam hemat penulis, tidak ditemukannya angka pasti terkait jumlah pengikut Syi’ah di Indonesia tidak hanya dikarenakan ketiadaan survei mengenai Syi’ah yang pernah dijalankan sebelum ini, namun tipologi pengikut Syi’ah di Indonesia sendiri tidaklah tunggal. Sehingga, heterogenitas model Syi’ah Indonesia turut membeli andil terhadap sulitnya mengidentifikasi angka yang sebenar penganut paham Syi’ah di Indonesia. Sebagian mengelompokkan Syi’ah di Indonesia menjadi dua: mereka yang beralih kepercayaan dari Sunni menjadi Syi’ah dan mereka yang sekedar mengagumi Syi’ah.  Sementara yang lain memberikan klasifikasi lebih dari dua.

Muhammad Baharun setelah meneliti tiga kantong Syi’ah di Jawa Timur, yaitu YAPI (Yayasan Pesantren Islam) yang bertempat di Bangil, Al-Hujjah yang bertempat di Jember, dan Al-Kautsar yang bertempat di Malang sampai pada kesimpulan bahwa pengikut Syi’ah di Jawa timur bisa diklasifikasikan dalam tiga tipologi. Pertama, Syiah ideologis yang dikembangkan oleh YAPI di Bangil melalui pendidikan Syiah yang lebih terstruktur dengan rapi. Syi’ah model pertama ini bersifat militan dan secara aktif menyebarkan ajaran Syi’ah. Kedua, “Su-Si” (Sunni-Syiah) yang muncul akibat kolaborasi dan pemahaman setengah-setengah antara Sunni dan Syiah dari gerakan al-Hujjah di Jember. Ketiga, Syiah Simpatisan yang muncul disebabkan ketertarikan gairah akademis dengan buku-buku yang diterbitkan oleh al-Kautsar di Malang.  Dalam konteks Indonesia secara umum, golongan pertamalah yang sering memicu benturan dengan paham Sunni sebagai paham mayoritas Muslim Indonesia. Kelompok ini tidak hanya monopoli santri “non-intelektual” alumni pesantren Syi’ah seperti YAPI, namun juga beberapa tokoh intelektual yang mayoritas menimba ilmu di Qum, Iran.

Berdasarkan urutan waktu kedatangan, Jalaluddin Rahmat membagi Syi’ah Indonesia menjadi tiga periode. Periode pertama adalah mereka yang telah menjadi Syi’ah sebelum revolusi Iran. Mereka pada umumnya menyimpan kepercayaan Syi’ah-nya untuk diri mereka dan keluarga terdekatnya saja dan tetap membaur ber-taqiyyah dengan kelompok mayoritas Sunni. Kedua, kelompok intelektual yang hadir pasca banyaknya buku-buku pemikiran tokoh Syi’ah yang diterjemahkan ke Indonesia setelah revolusi Iran. Mulanya mereka hanya tertarik pada intelektualitas Syi’ah saja sebelum kemudian mempelajari doktrin keagamaan Syi’ah secara keseluruhan. Ketiga, kelompok Syi’ah berorientasi fiqh yang lahir sebagai konsekuensi semakin besarnya keingintahuan penganut Syi’ah terhadap ritual fiqh Syi’ah. Kelompok ini mendapatkan momentumnya ketika banyak orang-orang Indonesia yang telah lama belajar di Qum pulang ke tanah air untuk menyebarkan paham Syi’ah yang telah mereka pelajari.

Syi’ah sendiri tidaklah tunggal. Ia terpecah-pecah ke dalam banyak kelompok, seperti imamiyyah, zaidiyyah, isma’iliyyah, dan yang lain. Mayoritas Syi’ah yang hidup di Indonesia adalah Syi’ah imamiyah atau itsna Asyariyah,  sama seperti mayoritas Syi’ah yang ada di Iran. Sebagian besar penganut Syi’ah di Indonesia berdomisili di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.  Hanya saja, berbeda dengan Syi’ah yang hidup di Iran, terutama pasca revolusi 1979, sampai saat ini Syiah Indonesia cenderung tidak bermain pada wilayah politik dan kekuasaan. Mungkin disebabkan jumlah mereka yang masih terbilang minoritas, Syi’ah Indonesia lebih banyak berkutat pada hal-hal yang masih bersifat intelektual ataupun doktrinal yang berorientasi fiqh. Meski demikian, bukan tidak mungkin hal tersebut akan berubah suatu saat nanti bila populasi Syi’ah telah semakin berkembang, mengingat isu politis, seperti doktrin imamah, termasuk bagian yang tak terpisahkan dari ajaran yang mereka yakini.

Pada periode awal pasca revolusi Iran, penyebaran Syi’ah atau Syi’ah-isasi di Indonesia lebih banyak memanfaatkan kharisma tokoh-tokoh Syi’ah yang sebagian besar berasal dari kalangan Habaib atau Sayyid  (sebutan untuk keturunan Arab yang ada garis keturunan dari Rasulullah). Mereka membuka pesantren, menulis buku, menerjemahkan karya-karya tokoh Syi’ah Iran, dan yang paling penting mengisi berbagai ceramah di berbagai lokasi di Indonesia. Dengan pendekatan kultural, semacam ceramah tadi mereka mendapatkan pengikut, murid, dan kader-kader yang siap untuk diberi pendidikan lebih lanjut tentang doktrin dan paham-paham Syi’ah. Penulisan dan penerjemahan buku-buku Syi’ah adalah fase berikutnya setelah pendekatan kultural. Pada fase ini, banyak kaum terpelajar yang mulanya sekedar tertarik dan simpatik terhadap perjuangan Syi’ah Iran melalui revolusinya menjadi belajar dan bahkan kemudian mempercayai doktrin-doktrin Syi’ah. Pendek kata, sejak awal tahun 80-an hingga kini, baik strategi kultural ataupun akademis sama-sama dipergunakan dalam penyebarluasan paham Syi’ah di Indonesia.

Khusus untuk komunitas Islam grassroots, Syi’ah lebih menekankan pada pendekatan kultural melalui teknik dakwah emosional. Ia disebarkan melalui ajakan untuk membela “ketertindasan” keluarga Nabi melawan kezaliman pihak penguasa (Sunni). Acara-acara religius-kultural semacam perayaan Asyura yang telah lama ada dan hidup  di tengah masyarakat dimanfaatkan untuk juga mengenang kematian Husain RA.  Ceramah-ceramah para tokoh Syi’ah selalu identik dengan ratapan dan tangisan. Meski tidak se-ekstrim perayaan Karbala di Iran, namun pendekatan emosional semacam ini cukup efektif menyentuh hati masyarakat, karena sejak awal kecintaan terhadap Nabi dan keluarga Nabi telah melekat dalam kepercayaan mereka. Peringatan tahunan maulid (kelahiran) Nabi, pembacaan sholawat, dan puji-pujian mengagungkan Nabi dan keluarganya adalah rutinitas religius kultural yang telah lama dijalankan dan dibudayakan dalam masyarakat Muslim akar rumput.

Sementara dalam penulisan buku, pada umumnya penulis Syi’ah tidak secara lugas melakukan penyerangan ataupun penolakan secara frontal terhadap doktrin-doktrin Sunni yang bertentangan dengan Syi’ah. Sekilas judul buku tersebut akan tampak sebagaimana buku-buku keagaamaan yang lain. Justifikasi bahwa buku tersebut adalah karya yang berisi ajaran Syi’ah hanya bisa dilakukan melalui telaah terhadap kandungan dan isinya. Meski menggunakan referensi yang diakui dan diterima secara luas oleh Sunni, sedikit atau banyak buku-buku “Syi’ah” akan menunjukkan jatidirinya melalui input doktrin-doktrin penting yang berbeda dengan Sunni. Kualitas dan kuantitasnya tentu berbeda antar satu dengan yang lain. Dalam kasus keadilan sahabat (‘adalat al-sahabat)  misalnya, ada yang sekedar memuji Sayyidina Ali dan memposisikannya di atas sahabat yang lain, tapi ada juga yang dibumbui dengan menyalahkan dan merendahkan martabat sahabat yang lain. Dengan didukung referensi mazhab Sunni, pembaca (Sunni) akan diajak untuk sedikit demi sedikit meragukan doktrin yang mereka percayai selama ini, dan lalu beralih mempercayai dan meyakini “fakta-fakta” yang diajukan buku Syi’ah tersebut.

Hanya saja,  penulis Syi’ah sering tidak berlaku adil terhadap referensi Mazhab Sunni yang mereka gunakan. Di satu sisi mereka menganggapnya sebagai referensi yang tidak valid, tapi di sisi lain mereka tetap menggunakannya asalkan ia dapat menjadi hujjah untuk memperkokoh argumentasi yang sedang mereka bangun. Ini menunjukkan sikap inkonsistensi ilmiah dari para penulis Syi’ah, karena menerapkan standar ganda dalam epistemologi keilmuwan mereka. Penyebab hal semacam ini, menurut hemat penulis, tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya kelompok Syi’ah sendiri yang memang kental didominasi oleh faktor politis daripada teologis. Keshahihan klaim teologis menjadi tidak begitu penting, sejauh bahwa titik berat ajaran Syi’ah adalah pada posisi “memperjuangkan”, “menyelamatkan”, dan “membentengi” kekuasaan Ali dan keturunannya sebagai orang yang dianggap paling berhak mewarisi dan meneruskan kepemimpinan Rasulullah Saw.

Lahirnya banyak organisasi dan lembaga-lembaga pendidikan yang belandaskan spirit Syi’ah juga menjadi faktor pendukung bertumbuh pesatnya paham dan komunitas Syi’ah di Indonesia. Khusus setelah bergulirnya era reformasi, pembentukan dan kehadiran Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pada tahun 2000 dengan Jalaluddin Rahmat sebagai arsitek utamanya adalah upaya untuk membangun rumah bersama dan mempersatukan komunitas Syi’ah di Indonesia. Posisi IJABI kemudian semakin kukuh setelah organisasi tersebut mendapatkan pengakuan legal formal dari pemerintah Indonesia pada 11 Agustus 2000. Sebelumnya, IJABI melaksanakan inagurasi dan kongres pertamanya di Bandung dengan dihadiri sekitar 2000 orang simpatisan Syi’ah dari dalam dan luar negeri. Jalaluddin Rahmat memberikan klaim pada kongres pertama tersebut, bahwa organisasi tersebut memiliki tiga setengah juta pengikut di seluruh Indonesia.

Meski demikian, tidak berarti IJABI tidak mendapatkan tantangan dari internal komunitas Syi’ah. Beberapa tokoh Syi’ah, terutama yang masuk kategori ¬fiqh-oriented menolak keberadaan IJABI sebagai wadah organisasi Syi’ah Indonesia. Alasannya, karena IJABI dianggap tidak menjalankan doktrin Syi’ah secara menyeluruh, terutama dalam bidang teologi. Sistem wilayatul faqih  (kekuasaan tertinggi ada di tangan ulama) misalnya, tidak diadopsi oleh IJABI dalam statutanya dan justru lebih memilih model demokrasi.  Pertentangan antara kaum intelektual versus kaum ulama di dalam komunitas Syi’ah masih terjadi hingga saat ini di Indonesia, sebagaimana yang juga sebenarnya terjadi pada organisasi semacam Nahdaltul Ulama.

LEMBAGA DAN TOKOH SYI’AH INDONESIA: STUDI KASUS JAWA TIMUR

Dalam sub-bab ini, penulis tidak mungkin mengelaborasi semua lembaga dan tokoh Syi’ah yang jumlahnya mungkin mencapai puluhan atau bahkan ratusan di Indonesia. Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam pada tahun 1997 membuat daftar beberapa lembaga besar yang berpahamkan Syi’ah di Indonesia, di antaranya adalah Yayasan Muthhari Bandung, Yayasan Al-Muntazhar Jakarta, Yayasan Mulla Sadra Bogor, Yayasan Pesantren YAPI Bangil, Yayasan Al-Jawad Bandung, Yayasan Al-Muhibbin Probolinggo, Pesantren Al-Hadi Pekalongan, Yayasan Pesantren Yapisma Malang, Yayasan Madinatul ‘Ilmi, YAPI Lampung, Yayasan Darul Habib Jakarta.  Saat ini jumlah lembaga semacam ini sudah semakin banyak dan tersebar di beberapa kota di Indonesia.

Oleh sebab itu, penulis pada pada tulisan ini akan membatasi kajian lembaga dan tokoh syiah hanya pada wilayah Jawa Timur saja dengan mengambil YAPI Bangil sebagai representasi lembaga syiah serta pendirinya, Husein Al-Habsyi, sebagai perwakilan tokoh Syi’ah Indonesia. Keduanya penulis ambil sebagai sample kajian, karena keduanya penulis anggap cukup “bertanggung jawab” atas peran masing-masing yang cukup signifikan, tidak hanya dalam memperkenalkan paham Syi’ah, namun juga dalam proses kaderisasi penganut Syi’ah di Indonesia.

Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Bangil didirikan oleh Habib Husein bin Abu Bakar Al-Habsyi (1921-1994)  pada tanggal 21 Juni 1976. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari YAPI Bondowoso yang didirikannya bersama para tokoh lain pada tahun 1971. Ada perbedaan pendapat mengenai semenjak kapan Husein al-Habsyi menganut Syi’ah. Sebagian meyakini ia telah menjadi Syi’ah semenjak masih muda ketika bertemu dengan tokoh-tokoh penganut Syi’ah di organisasi Jam’iat al-Khairiyyah yang ia aktif di dalamnya, seperti Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Muhdar (w. 1926) dan Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf (w. 1949). Namun, ia menjalankan praktek taqiyyah dan tetap mengaku sebagai Sunni sampai terjadinya revolusi Iran yang membuatnya berani untuk sedikit mengungkap jatidiri Syi’ah-nya. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa Husein al-Habsyi baru beralih menjadi Syi’ah setelah ia terpukau dengan revolusi Iran dan banyak membaca literatur-literatur tokoh Syi’ah.

Pentingnya posisi YAPI Bangil dalam kajian Syi’ah di Indonesia adalah karena Husein Al-Habsyi melalui YAPI-nya adalah lembaga pertama yang telah memulai proses kaderisasi penganut Syi’ah militan dan intelektual yang siap dikirim ke banyak lokasi di Indonesia pada awal tahun 80-an. Dari tahun tersebut sampai akhir hayatnya di tahun 1994, ia secara konsisten mengirimkan murid-muridnya untuk belajar ke Qum, salah satu kota suci di Iran yang sering menjadi rujukan kader-kader Syi’ah dalam menimba ilmu. Sepulang mereka ke Tanah Air, mereka telah siap menyebarkan dan menjadi guru-guru Syi’ah yang aktif di berbagai organisasi dan pesantren di Indonesia.  Ahmad Baragbah misalnya, pendiri dan pemimpin pesantren Syi’ah Al-Hadi di Pekalongan adalah termasuk murid pertama Husein al-Habsyi yang dikirim ke Qum pada tahun 1982.  Begitu juga pemimpin lembaga al-Hujjah Jember, Jamaluddin Asymawi (w. 2002) adalah murid Husein Al-Habsyi yang dikirim belajar ke Iran pada tahun yang sama.

Selain itu, kasus kerusuhan Sunni-Syi’ah yang baru-baru ini terjadi di Sampang juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh YAPI Bangil dalam perluasan dakwah Syi’ah Indonesia, khususnya Jawa Timur. Tajul Muluk, pemimpin Syi’ah Sampang, adalah orang yang secara reguler mengirimkan beberapa anak didiknya, termasuk 4 anak kandungnya dari Madura untuk melanjutkan pendidikannya di YAPI Bangil. Tentu saja motif Syi’ah-isasi menjadi agenda utama dalam proses pembelajaran tersebut. Tajul Muluk sendiri disebut-sebut menganut paham Syi’ah bermula dari kekagumannya atas keberhasilan Khomeini dalam memimpin revolusi Iran. Ia membaca beberapa buku dari tokoh-tokoh Syi’ah dan kemudian beralih menjadi Syi’ah, bahkan mendirikan pesantren Misbahul Huda yang berorientasikan paham Syi’ah.

Meski telah terjadi bentrok yang berujung pada perusakan bangunan-bangunan pesantren Misbahul Huda Syi’ah pada Januari 2012,  tampaknya hal itu tidak sedikitpun menimbulkan rasa takut pada penganut Syi’ah kelompok Tajul Muluk. Pada tanggal 26 Agustus 2012, bentrokan antara masyarakat dengan pengikut Tajul Muluk kembali terjadi. Bentrokan ini dipicu karena warga tidak terima pengikut Tajul Muluk yang hendak mengembalikan anak-anak mereka ke YAPI Bangil pasca libur lebaran. Sebelumnya, masyarakat telah meminta dan mendesak Pemerintah Kabupaten Sampang untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak kelompok Tajul Muluk agar dapat bersekolah di pondok atau sekolah yang ada di Sampang dan keluar dari pendidikan di YAPI Bangil.  Fakta ini Ini di samping menunjukkan militansi gerakan Syi’ah di Sampang, juga semakin memperkuat asumsi YAPI Bangil sebagai learning centre (pusat pembelajaran) kader-kader Syi’ah, khususnya di kawasan Jawa Timur.

RESPON TERHADAP EKSISTENSI SYI’AH

Datangnya era reformasi dan era kebebasan pasca lengsernya Soeharto membuka peluang kepada pengikut Syi’ah untuk dapat berkembang dan lebih bebas dalam menyebarkan pahamnya. Oleh karenanya, meski tidak berarti harus selalu satu gagasan, banyak lembaga-lembaga dan tokoh Syi’ah Indonesia yang berkolaborasi dengan kelompok yang masuk kategori Islam liberal.  Kolaborasi tersebut tentu saja dalam kerangka melindungi eksistensi Syi’ah dengan cara mempromosikan kebebasan berpikir, kebebasan memilih keyakinan beragama, dan melindungi hak-hak minoritas. Meski demikian, fakta bahwa mayoritas Muslim Indonesia berpaham Sunni meniscayakan lahirnya respon terhadap kehadiran kelompok Syi’ah di Indonesia. Respon tersebut memiliki frekuensi dan intensitas yang berbeda, mulai dari yang paling ramah hingga paling keras. Sejauh mengenai respon non-Syi’ah (baca: Sunni) terhadap eksistensi Syi’ah di Indonesia, penulis –setelah membaca beberapa literatur dan referensi- mengkategorikannya menjadi tiga macam: negatif-agresif, netral-imparsial, dan moderat-simpatik.

Kelompok pertama, negatif-agresif, umumnya diwakili oleh kaum tradisional Islam yang mayoritas hidup di kalangan akar rumput (grassroots) dan organisasi Islam nasional yang berhaluan traditional-puritan. Agresif di sini bukan hanya bermakna menggunakan kekerasan, tapi mendakwahkan paham anti-shi’ahnya melalui berbagai media yang dimiliki juga bisa masuk dalam kategori ini. Oleh karenanya, bukan hanya beberapa penyerangan dan perusakan terhadap institusi Syi’ah saja yang masuk bagian dari kelompok pertama ini, organisasi semacam PERSIS, Al-Irsyad yang secara terang menyatakan dan mendakwahkan penolakannya terhadap ajaran Syi’ah, bahkan menganggap ajaran tersebut sebagai ajaran sesat juga masuk di dalamnya. Pada konferensi yang ke 36 di tahun 1996 misalnya, Al-Irsyad mengirim surat permohonan resmi kepada pemerintah untuk melarang penyebar luasan ajaran Syi’ah di Indonesia.

Penggunaan kekerasan untuk menghentikan aktivitas Syi’ah adalah bentuk paling ekstrem dari kategori pertama ini. Pada April 2000, bangunan dan fasilitas pesantren “Syi’ah” Al-Hadi Pekalongan dibakar dan dihancurkan. Sementara Februari 2011, terjadi “penyerangan” atau kerusuhan di dalam pesantren YAPI Bangil antara santri YAPI dan warga Sunni. Awal tahun ini, Januari 2012, giliran pesantren Tajul Muluk di Sampang Madura yang menjadi sasaran. Pada Mei 2012, di Jember juga terjadi bentrok yang disebabkan isu gesekan dakwah Syi’ah. Pada Agustus, Sunni-Syi’ah sampang kembali bentrok dan beberapa orang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Fakta-fakta ini sekedar menunjukkan bahwa respon terhadap Syi’ah di Indonesia juga bisa bersifat sangat negatif, agresif dan bahkan anarkis.

Selain itu, kategori pertama ini juga mencakup institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI)  di dalamnya. MUI sebagai institusi yang berwenang mengeluarkan fatwa sebagai panduan bagi umat Islam Indonesia telah mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah pada tahun 1984.  Meski hanya menekankan beberapa perbedaan ajaran Syi’ah dan Sunni dalam fatwanya, fatwa ini termasuk respon pertama yang menyadari eksistensi dan penyebaran paham Syi’ah di kalangan Muslim Indonesia pasca revolusi Iran 1979.  Selanjutnya, MUI cabang Sampang dan Jawa Timur mengeluarkan fatwa tentang Syi’ah terkait konflik Sunni-Syi’ah yang terjadi di Sampang, Madura. Meski merespon kejadian lokal, namun fatwa tentang Syi’ah yang terakhir ini seakan merupakan jawaban atas keresahan dan puncak gunung es dari serangkaian konflik Sunni-Syi’ah yang terjadi di kawasan Jawa Timur dalam kurun tahun 90-an hingga 2000-an.

Fatwa MUI tentang Syi’ah ini sendiri menimbulkan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang sepenuhnya mendukung, ada yang mengambil posisi netral,  tapi tidak sedikit juga yang mengkritik dan bahkan menolaknya. Bagi yang mendukung, fatwa MUI dianggap respon yang tepat dari para ulama untuk memberikan jawaban atas posisi Syi’ah terhadap mayoritas Muslim Indonesia yang menganut paham Sunni.  Sedangkan kelompok anti-fatwa yang pada umumnya didominasi oleh komunitas Islam Liberal dan Syi’ah, justru menyayangkan dikeluarkannya fatwa tersebut. Alasan mereka karena di samping justru memperuncing perbedaan yang sudah ada, fatwa semacam itu juga seolah memberikan justifikasi atau pembenaran terhadap perilaku anarkis terhadap kelompok Syi’ah atau Islam minoritas lainnya. Isu hak-hak minoritas dan hak kebebasan menjalankan keyakinan biasanya menjadi dalil bagi penentang fatwa ini.

Kembali ke pembahasan respon terhadap eksistensi Syi’ah. Model respon kedua terhadap eksistensi Syi’ah di Indonesia bersifat netral-imparsial. Karakter semacam ini diwakili oleh (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah yang menunjukkan sikap netral terhadap paham dan kelompo Syi’ah. Sebuah seminar nasional tentang Syi’ah yang diadakan di aula masjid Istiqlal Jakarta pada 21 September 1997 dapat memberikan gambaran posisi beberapa ormas Islam besar Indonesia terhadap keberadaan Syi’ah di Indonesia. Sementara organisasi semacam Al-Irsyad, NU, Al-Bayyinat, Persis dan DDII mengirimkan perwakilannya untuk menyampaikan makalah yang pada intinya memperingatkan atau bahkan menolak Syi’ah, Muhammadiyah justru tidak mengirimkan wakilnya pada seminar itu. Hanya saja dalam kompilasi makalah seminar yang dibukukan kemudian, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirimkan kata sambutan dan memperjelas posisi mereka perihal perbedaan Sunni-Syi’ah. Mereka menulis,

Persoalan penting yang menghadang kaum Muslimin dewasa ini adalah bagaimana memfungsikan ikhtilaf (perbedaan) sebagai mobilisator dinamika kehidupan… tapi di sisi lain ikhtilaf malah banyak yang menjerumuskan manusia ke jurang konflik berkepanjangan. Konflik Sunni-Syi’ah juga termasuk yang disebut terakhir itu… Dengan tidak bermaksud melakukan pledoi terhadap aliran Syi’ah, tapi apapun yang dikatakan orang, Syi’ah dianut oleh sebagian besar penduduk Iran, sebagian penduduk negara Muslim, seperti Pakistan, Syria, Yaman, Libanon, India, dan lainnya… muncul beberapa ulama Sunni-Syi’ah yang sepakat untuk menghindari perbenturan demi memelihara kesatuan Islam… Kami berpendapat bahwa ada kelemahan dan kekurangan dari golongan Syi’ah. Oleh sebab itu kepada segenap umat Islam dianjurkan untuk mempelajarinya secara kritis dengan tetap menjadikan al-Quran dan Al-Sunnah al-Shahihah sebagai alat dan standar penelitiannya.

Posisi netral yang diambil Muhammadiyah ini besar kemungkinan disebabkan karena sejak awal isu teologis memang tidak menjadi perhatian dari organisasi ini. Muhammadiyah adalah organisasi yang lebih concern atau memberikan titik tekan terhadap isu sosial pendidikan dan pembaruan Islam di segala bidang.  Namun, penting dicatat di sini bahwa posisi yang diambil pimpinan pusat sebuah ormas Islam tidak selalu mengindikasikan kesamaan posisi dengan cabang ormas di tingkat wilayah atau daerah terkait sikap terhadap Syi’ah. Misalnya, sementara Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjukkan sikap netral, pimpinan Muhammadiyah wilayah Jawa Timur justru menunjukkan sikap resistensi yang sangat tinggi terhadap keberadaan Syi’ah. Fenomena serupa juga dapat dilihat dalam tubuh organisasi Nahdlatul Ulama.

Kategori ketiga terkait respon terhadap Syi’ah Indonesia ada moderat-simpatik. Kategori ini umumnya banyak diwakili oleh para tokoh-tokoh intelektual nasional seperti Nurcholish Madjid, Amin Rais, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Siradj, atau Quraisy Shihab yang mengakui, membela dan bahkan mendukung eksistensi Syi’ah. Namun, perlu dicatat di sini bahwa respon mereka ini tidak dapat dimaknai sebagai representasi dari organisasi dimana mereka terlibat atau aktif di dalamnya. Meski Gus Dur dan Said Aqil (masing-masing mantan dan ketua NU) cenderung bersikap moderat-simpatik terhadap Syi’ah, namun secara kelembagaan, NU dari kalangan pusat hingga daerah tetap menunjukkan sikap negatif-agresif. Pun demikian dengan Amin Rais dan Muhammadiyah sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya.

Amin Rais termasuk orang yang kagum terhadap keberhasilan revolusi Iran. Ia pernah menerjemahkan buku Ali-Syariati ke dalam bahasa Indonesia. Amin Rais memang tidak secara eksplisit memberikan dukungan terhadap keberadaan Syi’ah. Ia hanya berpandangan bahwa kelompok Sunni harus bisa menghormati dan bekerjasama dengan kelompok Syi’ah, demikian pula sebaliknya. Sedangkan Nurcholish Madjid termasuk tokoh yang cukup lantang menyuarakan kesamaan posisi Syi’ah dan Sunni dalam Islam. Ia meyakini bahwa kolaborasi Sunni-Syi’ah akan banyak memberikan manfaat, terutama pada orang-orang Sunni dalam bidang ilmu pengetahuan.

Tidak jauh berbeda dengan Nurcholish Madjid, Gusdur juga sering melakukan “pembelaan” terhadap komunitas Syi’ah. Ia banyak mengemukakan fakta kedekatan kultural antara Sunni (NU)-Syi’ah untuk menunjukkan sikap simpatik dan pembelaannya terhadap Syi’ah. Sejatinya, sikap pembelaan terhadap Syi’ah ini adalah sikap umumnya terhadap semua golongan minoritas yang ada di Indonesia. Saat menjabat sebagai presiden, Gusdur tidak hanya membuka ruang lebih pada publik Tionghoa, ia juga memberikan pengakuan legal terhadap keberadaan organisasi nasional Syi’ah, IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia).

Said Aqil, ketua NU saat ini, dikenal sebagai orang yang tidak menyesatkan ajaran Syi’ah, dan oleh karenanya ia dituduh sebagai salah satu pembela Syi’ah. Menurutnya, Syi’ah adalah termasuk satu dari kelompok-kelompok yang ada dalam Islam (al-firaq al-Islamiyah). Perbedaan Syi’ah dengan mayoritas Islam Sunni, meurutnya, tidak sampai membuat Syi’ah keluar dari Islam. Demikian juga dengan Qurais Shihab yang pernah menulis buku berjudul, “Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”. Dalam buku itu, Quraisy Shihab pada intinya berargumentasi bahwa meski banyak perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, kesamaan di antara keduanya jauh lebih banyak. Namun buku ini kemudian mendapat sejumlah kritik, termasuk dari santri Sidogiri yang menulis buku sanggahan berjudul, ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah?  Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”.

Kesalahan yang diambil oleh para tokoh intelektual di atas, menurut penulis, terletak pada cara mereka melihat fenomena Syi’ah Indonesia yang menggunakan perspektif teoritis dan spektrum internasional. Mereka tidak menelaah secara mendalam fakta-fakta pada Islam grasroots yang mengalami gesekan langsung dengan kelompok Syi’ah. Sebagaimana tokoh-tokoh internasional lainnya, semisal Muhammad Syaltut atau Yusuf Qardlawi yang dalam beberapa kesempatan menekankan pentingnya kesatuan Sunni-Syi’ah, tokoh-tokoh intelektual Indonesia tersebut memiliki tujuan yang juga tidak jauh berbeda. Mereka melihat pentingnya menghentikan aroma “permusuhan” atau pertikaian teologis antara dua kelompok terbesar dalam Islam, Sunni dan Syi’ah, yang telah terjadi beratus tahun lamanya dan mengupayakan sebisa mungkin persatuan atau setidaknya pendekatan kedua mazhab tersebut. Hanya saja, fakta dan tantangan yang dihadapi Islam kelas bawah tidaklah sesederhana rumusan persatuan dari kaum intelektual tersebut.

EPILOG

Dalam konteks Indonesia, meski besar kemungkinan Syi’ah telah ada jauh sebelum revolusi Iran 1979, namun ia baru mengkristal dan mendapatkan momentum perkembangannya pasca revolusi politik di negara “Syi’ah” tersebut. Mengingat mayoritas Muslim Indonesia berpahamkan Sunni, gesekan-gesekan yang terjadi atas nama perbedaan Sunni-Syi’ah, terutama pada masyarakat grassroots dan perlawanan secara intelektual dari para tokoh cendekia Sunni adalah hal-hal yang tidak dapat dihindarkan. Aksi alamiah pengikut Syi’ah sebagai kelompok minoritas untuk dapat berkembang menjadi lebih besar melalui proses Syi’ah-isasi (tasyayyu’), secara alamiah juga akan menimbulkan reaksi dan respon dari kelompok Sunni. Level reaksi itu sendiri berbeda-beda dari yang paling negatif sampai paling moderat.

Ke depan, model reaksional terutama yang bersifat negatif-agresif terhadap eksistensi Syi’ah di Indonesia dari kelompok Sunni harus diubah menjadi aksi produktif sebagai langkah preventif. Selain tidak efektif, penggunaan kekerasan justru menciderai citra “damai” agama Islam, dan pada akhirnya justru melemahkan Islam secara keseluruhan. Bagi para pemuka Sunni, penyebaran ajaran Syi’ah di wilayah-wilayah kantong Sunni, seperti Sampang, Madura adalah bukti betapa saat ini mereka memerlukan upaya yang lebih keras guna meyakinkan dan membentengi masyarakat Sunni dari aqidah non-Sunni. Sedangkan bagi pemerintah, keseimbangan dalam melihat dan menyelesaikan pertikaian Sunni-Syi’ah penting untuk dilakukan. Fakta bahwa Syi’ah adalah kelompok minoritas sama sekali tidak meniscayakan bahwa merekalah yang layak “dibela” dan dijaga hak-haknya. Bila kelompok mayoritas diwajibkan menghormati hak-hak minoritas, maka demikian pula yang semestinya dipraktekkan oleh kelompok minoritas. Wallahu A’lam.



* Robitul Firdaus, SHI., MSI, adalah Kandidat Doktor Of Philosophy, ISTAC

** Makalah ini disajikan dalam diskusi reguler mingguan Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) pada tanggal 21 Desember 2012 di International Islamic University Malaysia (IIUM) Gombak, Selangor.

Oleh : Robitul Firdaus, SHI., MSI.



REFERENSI
Al-Kaff, Thohir Abdullah. (1998). “Perkembangan Syi’ah di Indonesia”. Dalam Umar Abduh dan Kirtos Away (eds.). Mengapa Kita Menolak Syi’ah; Kumpulan Makalah Seminar nasional Tentang Syi’ah di Aula Masjid Istiqlal Jakarta 21 September 1997. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam. 55-74
Amin, Ma’ruf, et al. (2011). Himpunan Fatwā MUI Sejak 1975. Surabaya: Penerbit Erlangga.
Amin, Ma’ruf. (2012). “Menyikapi Fatwa MUI Jatim”. Republika. 8 November 2012.
As-Salus, Ali Ahmad. (2001). Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah: Studi Perbandingan Hadits dan Fiqh. Vol. 2. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
As-Salus, Ali Ahmad. (2001). Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah: Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir. Vol. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Atjeh, Aboebakar. (1977). Aliran Syi’ah di Nusantara. Jakarta: Islamic Research Institute.
Atjeh, Aboebakar. (1980). Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Kelantan: Pustaka Aman Press.
Azyumardi Azra, “Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”, Ulumul Quran, No. 4, Vol. VI, tahun 1995. 4-19.
Baharun, Muhammad. (2006). “Tipologi Pemahaman Doktrin Syiah di Jawa Timur”. Disertasi. Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel.
Baharun, Mohammad. (2012). “Menegeuhkan Fatwa-Fatwa MUI (Respon atas Pernyatan KH. Ma’ruf Amin)”. Republika. 23 November 2012.
Bagir, Haidar. (2012). “Proporsional Menyikapi Fatwa”. Republika. 27 November 2012.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. (1994). Ensiklopedi Islam. Vol. 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Dlohir, Ihsan Ilahi. (1984). Al-Syi’ah wa al-Tasyayyu’. Lahore: Idarah Turjuman al-Sunnah.
“Hasil Investigasi MUI Jatim terkait Konflik Sunni-Syi’ah di Sampang Madura”. (2012). http://berita.muslim-menjawab.com/2012/08/inilah-hasil-investigasi-mui-jawa-timur.html, diakses pada 18 Desember 2012.
Harsaputra, Indra. (2012). “As govt suggests moving, Shiites ask why”. http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/04/as-govt-suggests-moving-shiites-ask-why.html, diakses pada 10 April 2012.
Hegland, Mary. (1983). “Two Immages of Husain: Accomodation and Revolution in an Iranian Village”. Dalam Nikki R. Keddie, Religion and Politics in Iran. New Haven and London: Yale University Press. 218-235.
Hosen, Nadirsyah. (2004). “Behind The Scenes: Fatwas of Majelis Ulama Indonesia (1975-1998)”, Journal of Islamic Studies, Vol. 15, Number 2: 147-179.
Ichwan, Moch Nur. (2005). “Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulamā Indonesia after Suharto”, Islamic Law and Society, 12: 45-72
“Jalaluddin Rahmat: Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi”. (1995). Ulumul Qura’n. No. 4. Vol. VI: 92-103.
Latief, Hilman. (2008). “The Identity of Shi’a Symphatizers in Contemporary Indonesia”, Journal of Indonesian Islam, Vol. 2, No. 2, December 2008. 300-335.
Louer, Laurence. (2008). Transnational Shi’a Politics: Religious and Political Networks in the Gulf. London: HURST Publisher.
Marcinkowski, Christoph. (2008). “Aspects of Shi’ism in Contemporary Southeast Asia”, The Muslim World, Vol. 98: 36-71.
Mudzhar, M. Atho. (1990). Fatwās of the Council of Indonesian Ulamā: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia, 1975-1988. Los Angeles: University of California.
Nurjulianti, Dewi dan Arief Subhan. (1995). “Lembaga-lembaga Syi’ah di Indonesia”, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI: 20-26.
Rose, Gregory. (1983). “Velayat-e Faqih and the Recovery of Islamic Identity in the Thought of Ayatollah Khomeini”, Dalam Nikki R. Keddie, Religion and Politics in Iran. New Haven and London: Yale University Press. 166- 188.
Stewart, Devin J. (1991). “Twelver Shi’i Jurisprudence and Its Struggle with Sunni Consensus”. Disertasi. Pennsylvania: University of Pennsylvania.
Tabataba’i. (1988). “Shi’i View of Religion in General and Shi’ism in Particular”. In Seyyed Hossein Nasr, Hamid Dabashi, and Seyyed Vali Reza Nasr (eds.). Shi’ism, Doctrines, Thought, and Spirituality. Albany: State University of New York Press.
Zulkarnain, KH Tengku. (2012). “Akar Masalah yang Diabaikan”. Republika. 13 November 2012.
Zulkifli. (2009). “The Struggle of the Shi’is in Indonesia”. Disertasi. Leiden: Leiden University.
Zulkifli. (2004). “Being a Shi’ite among the Sunni Majority in Indonesia: A Preliminary Study of Ustadz Husein al-Habsyi (1921-1994)”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 11 (2): 275-308.
isfimalaysia.wordpress.com

postingan selesai ........

Bila informasi diatas ada yang salah , silahkan isi di komentar di bawah.
Artikel Paham Dan Gerakan Syi’ah Di Indonesia

0 komentar for "Paham Dan Gerakan Syi’ah Di Indonesia"

Leave a reply

Benar..
Berjilbab belum tentu baik imannya.
Akan tetapi wanita yang baik iman sudah pasti berjilbab bukan?

Benar..
Menutup aurat bukan jaminan nggak pernah berbuat dosa.
Akan tetapi menutup aurat sudah pasti mengurangi dosa.
Minimal telah menggugurkan dosa kewajiban menutup aurat.!

Benar..
Berjilbab nggak jaminan selalu dekat dengan Allah.
Akan tetapi yang pasti ia ingin mendekat kepada Allah.

"MENDING NGGAK BERJILBAB KALAU KELAKUAN MASIH PENUH MAKSIAT!"
Nah..
Ini kalimat yang menyesatkan.
Serupa dengan ajakan setan.
Yang baik diperlihatkan jelek.
Yang jelek diperlihatkan baik.

Berjilbab itu adalah untuk memperjelas jati diri.
Melindungi kehormatan dan kemuliaan yang tak akan terganti Kelak.

Jibab menentukan pasangan hidupmu.
Karena wanita yang taat sangat berhak punya pendamping yang
taat.
Itu janji Allah.
Bukan hanya pemanis kata-kata tanpa makna..

Jilbab itu adalah penjaga diri bagi lelaki yang jahat.
Dan jilbab adalah perhiasan terindah bagi lelaki yang taat.

Kenapa mesti berjilbab?
Karena itu adalah perintah-Nya.
Karena itu akan melindungi wanita dari lelaki yang suka maksiat..

ayoo... wanita Islam Indonesia berJilbab yuuuk... alhamdulillah......

Yahudi bunuh Yesusnya KristennasraniYahudi KEJAM Menyiksa bagai binatang kepada YESUSajaranKRISTEN.

Subscription

Anda dapat berlangganan melalui e-mail untuk menerima update berita. GRATIS

Masukkan Email Anda, Gratis:

Selamat Anda Beruntung telah mengisi Email, Cek Email anda, Gratis artikel terbaru.

Most Popular

Artikel Ganas

Awas Politik Busuk Global


Tag Cloud

Label

Recent News

Archives

Flag Counter

Hai, Selamat datang