Mengapa Kita harus Menjadikan Jakarta sebagai Kota Syariah?
Posted by Unknown on Rabu, 24 April 2013 | 0 komentar
Oleh: Dr.Ir.Muhammad Nanang Prayudyanto, MSc.
Ketua MASYARAKAT PEDULI SYARIAH (MPS) Bekasi
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hukum Alloh bagi mereka yang meyakini (agamanya)? (QS Al
Maaidah: 50)
I. PENDAHULUAN
- Ibukota negara, Jakarta, kota perjuangan ummat Islam akhirnya menemui babak baru. Pemilu 2012, model demokrasi yang masih saja dipercaya oleh masyarakat Jakarta, menghasilkan pemimpin baru yang sejatinya memusuhi ummat Islam, baik dalam eksistensi amaliahnya maupun keberadaan syiar-syiarnya.
- Jakarta menjadi kota anti syariah? Kemungkinan Jakarta akan menjauhi rahmat Alloh swt semakin mendekat. “Ummat Islam tidak perlu taat pada kitab suci, tetapi taat pada konstitusi !” demikian pesan syetan itu kepada masyarakat pengagumnya. Maka resmilah Jakarta menjadi “Kota Tanpa Syariat”. Ditunjukkanlah kekotoran korupsi pejabatnya, dilaranglah syiar pawai kebesaran agama Islam, dipertontonkan kehebatan syetan itu ke seluruh media massa dengan liputan tiap hari tanpa henti. Lalu.. waktu berjalan dan setahun lagi, kemungkinan besar Jakarta akan dipimpin syetan!
II. MENGAPA HARUS BERSYARIAH?
Kewajiban menunaikan Syariat.
Ayat-ayat tentang wajibnya melaksanakan hukum Islam ditekankan secara
khusus dengan minilik ancaman yang disampaikan Alloh swt terhadap mereka
yang menolak, baik secara tertutup maupun terang-terangan.
- “Barangsiapa yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS Al Ma’idah: 44).
- “Barangsiapa yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim” (QS Al Ma’idah: 45).
- “Barangsiapa yang tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS Al Ma’idah: 47).
Sesungguhnya
berhukum kepada Syariat Islam wajib hukumnya bagi kaum muslimin –pada
permasalahan dan persengketaan yang terjadi pada mereka– dan hal ini
merupakan ashlul-iman (pokok keimanan) sehingga orang yang
tidak melaksanakannya –ketika wajib dilaksanakan dan ia mampu
melaksanakannya– ia kafir, berdasarkan firman Allah:
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’ 65).
Kewajiban mendakwahkan Syariat.
Semaraknya harapan kaum muslimin untuk memulai menggunakan hukum Islam
saat ini, bukanlah hal yang baru, karena sebelum kafir Belanda datang ke
Indonesia, kerajaan Islam telah menggunakannya.
Ditinjau
dalam perspektif sejarah, tidak satupun negeri yang Islam masuk di
dalamnya tidak menerapkan syariat. Termasuk konteks sejarah nusantara,
dimana yang menjadi hukum positif di kerajaan-kerajaan itu ialah hukum
syariat. Literatur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan
adalah literatur fiqih dengan madzhab Syafi’i.
Fakta sejarah itu terdapat dalam karya monumental “Rihlah Ibnu Bathuthah” (Rasyid, 2012). Jika
kita lihat dari trend terakhir, tentang Raperda di Tasikmalaya dan
Qonun Jinayah di Aceh serta puluhan Perda Syariat yang kemudian sebagian
besar dibatalkan oleh penguasa zhalim negeri ini, menggambarkan kuatnya dorongan arus bawah untuk membawa hukum Syariah,
yang kemudian dipaksa dibendung dengan paksaan penguasa seperti
Mendagri atas nama Presiden, yang sesungguhnya mengingkari sikapnya
sebagai seorang yang mengaku dirinya muslim.
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ
رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
Apabila
dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An-Nisaa’: 61).
III. KONDISI JAKARTA KRITIS
- Skenario 2014. Tahun 2014 sudah didepan mata. Kaum kafir sungguh menikmati rencana kemenangan dengan menaikkan status Jokowi untuk kemudian menjadikan Ahok sebagai Gubernur baru. Ini yang disebut sebagai “Jakarta Baru”, sebut saja “Jakarta Kota Kristen” yang berarti keberhasilan membuat Jakarta kota dengan ciri kristenisasi di pulau Jawa. Ini sebagaimana amanat penginjilan yang mereka rencanakan telah berhasil.
Tabel 1. Peristiwa 100 Hari Ahok-Jokowi
Kegiatan
|
Alasan
|
Memindahkan Ust. Abu Bakar Baasyir dari Jakarta ke Nusa Kambangan |
Tuduhan pemerintah beliau “Terorisme” |
Meminta MUI Jakarta mengeluarkan fatwa melarang aktivitas dakwah yang mengganggu lalu-lintas |
Ketertiban lalu-lintas |
Mengganti pejabat dibawah Pemprop DKI Jakarta dengan yang beragama kristen |
Prestasi pejabat Islam kurang memuaskan |
Menantang ummat Islam dengan menyebut “silahkan saya dianggap sebagai kafir nomor satu” |
Waktu menjabat di Sumatera punya
pengalaman paling dimusuhi ummat Islam tetapi berhasil mengalahkan
opini dan tekanan tersebut. Pede ! |
Memeriahkan acara Nyepi dengan Ogoh-ogoh di pusat kota Jakarta, Bundaran HI dan diliput media massa besar-besaran |
Memberi kesempatan yang sama bagi agama-agama untuk syiar |
Menyatakan bahwa Vatikan (Paus)
adalah yang pertama menyatakan kemerdekaan Indonesia, padahal tidak
benar sama sekali, yang benar adalah mesir melalui Ikhwanul Muslimin. |
Mencari muka menunjukkan jasa kaum kafir Kristen |
- Kaum muslimin akan dijerat dengan demokrasi dimana suara terbanyak tidak akan mungkin dibendung. Lalu kita kehilangan arah dan ulama pun akan mengaminkan agar “tidak anarkis”, “kita harus sabar” dan kalimat “zukhrufal qouli ghururon” lainnya. Lalu kita terdiam. Padahal kebanggaan ummat dan warisan Nabi yang paling mulia telah ditinggalkan.
IV. BAGAIMANA MEWUJUDKAN JAKARTA BERSYARIAH?
Tidak mungkin keberhasilan tatbiqus syariah dilaksanakan dalam bingkai demokrasi.
Dalam demokrasi, semua keputusan hukum diputuskan berdasarkan suara
terbanyak. Setiap perbedaan dan perselisihan, diselesaikan dengan jalan
voting (pemungutan suara) ataupun lobi. Sedangkan dalam Islam, semua
keputusan hukum berdasarkan pada dalil syara’. Perbedaan pendapat dalam
masalah hukum harus diselesaikan oleh imam dengan jalan mengambil hukum
yang paling kuat dalilnya.
Di dalam Al Quran dijelaskan bahwa setiap perkara yang diperselisihkan wajib dikembalikan kepada al-Quran dan as-Sunnah.
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya (QS al-Nisa’ [4]: 59).
Menurut
Ibnu Katsir ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak berhukum
merujuk kepada Al Quran dan as-Sunnah dan merujuk pada keduanya dalam
perkara yang diperselisihkan maka ia tidak beriman kepada Allah dan Hari
Akhir (Tafsir Ibnu Katsir, vol. 2 hal, 346).
Tidak Mencari Kesempatan Semata.
Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu tidak
direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang fasik dan tangan tak
amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia
dipegang oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.
Namun
kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim bahwa ia lebih baik
dari yang sedang memimpin. Bahkan rata-rata orang pandai berteriak
sebelum menjadi pemimpin, tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka
tak bisa berbuat banyak. Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang
mencoba bertahan dengan idealisme, mendapat serangan dan kecaman dari
berbagai pihak, lalu akhirnya menyerah kepada keadaan.
Fokus. Gerakan Islam perlu untuk lebih fokus, lebih strategis, yakni pembinaan ummat, membangun generasi taqwa, cerdas dan beraqidah yang kuat, mengarahkan pemikiran ummat kepada cara berpikir yang Islami setelah mengalami degradasi bertahun-tahun. Metoda gerakan dengan dakwah dan jihad seharusnya menjadi pertimbangan untuk sesegera mungkin diterapkan, secara berjamaah. Allahu Akbar! [Ahmed Widad] postingan selesai
Sampai saat ini jokowi masih boleh di ancungi jempol, Jelas sariah harus di terapkan di Jakarta, coba anda semua lihat situasi di sana, tempat hiburan malam sangat banyak ( merusak GENERASI MUDA Indonesia ), minuman KERAS yang meMABUKKAN banyak beredar, dan masih sangat banyak tempat yang mengikis Akhlak anak bangsa, belum lagi para Koruptor yang mengGURITA.
Pejuang Kemerdekaan Indonesia bisa Terwujud dengan sangat kuat berkat selogan JIHAD untuk merdeka, Indonesia mayoritas ISLAM maka yang paling berjasa atas kemerdekaan Indonesia adalah Rakyat Islam. SUDAH SAATNYA JAKARTA MENGGUNAKAN SYARIAH ISLAM. BILA INI TERWUJUD MAKA TIDAK ADA YANG NAMANYA GENERASI MUDA MABUK-MABUKAN, DISKOTIK MERUSAK MORAL ANAK BANGSA, KORUPTOR TAKUT DI HUKUM POTONG TANGAN, PARA PEMIMPIN YANG CINTA RAKYAT, HUKUM ADIL, MELINDUNGI WANITA (bila wanita dibiarkan memakai pakaian ketat dan terbuka maka KAUM LELAKI HIDUNG BELANG AKAN BERJUANG UNTUK MEMPERKOSANYA BILA PERLU DIPERKOSA RAME-RAME), MEMBERANTAS PROSTITUSI /WTS (BIANG KELADI PENYEBARAN PENYAKIT HIV/AIDS, kasihan istri dan anak yg tertular dari SUAMI BEJAD ), MELAKUKAN SEKS DILUAR NIKAH AKAN DI HUKUM SANGAT BERAT (CAMBUK, pokoknya mengerikan biar JERA) , DAN LAIN LAIN.
JADI TIDAK ADA ALASAN LAGI, JAKARTA SUDAH WAKTUNYA MENGGUNAKAN SYARIAH ISLAM.
Sekian infobenar Artikel tentang
0 komentar for "Mengapa Kita harus Menjadikan Jakarta sebagai Kota Syariah?"
Leave a reply