X Factor Fatin Jangan Digugat Lagi!
Posted by Unknown on Jumat, 31 Mei 2013 | 0 komentar
X Factor Fatin Jangan Digugat Lagi! | Setelah XFI memunculkan Fatin sebagai juaranya,
ketidakpuasan muncul dari beberapa lapisan masyarakat. Bahkan pengamat
music sekelas Hakim Tobing-pun menyampaikan ketidakpuasannya. Hal ini
memberikan diskusi panjang di Kompasiana. Tidak terkecuali di rumahku.
Diskusinya ramai – antara aku, babeku dan enyakku. Walaupun Babeku bukan
pemusik, namun wawasan beliau telah merangsangku untuk menggali wawasan
skolar tentang factor X itu. Dengan niat tidak menilai atau tidak
merendahkan atau tidak mengesampingkan pendapat siapapun aku mencoba
menggali makalah, riset atau kajian teori terkait factor X yang
diperdebatkan (walaupun tidak secara mendalam, setidaknya bagiku dalam
tulisan ini adalah suatu pendekatan teori yang menurutku layak). Aku
tidak berkecil hati dengan tulisan ini, karena banyak pemikiran babe dan
enyak gue disini.
Riset terkait dengan masalah “like” dan “dislike” terhadap music sudah banyak dilakukan. Penelitian estetika eksperimental juga banyak dilakukan dalam kaitannya menyelidiki hubungan antara respon terhadap stimuli estetika dan properti lainnya dari mereka, seperti kompleksitas, keteraturan, dan familiaritas. Dalam hal ini, riset yang dilakukan Berlyne menarik untuk disimak terkait pendefinisian factor X. Terlepas dari adanya kritik skolar pada teori Berlyne ini, Berlyne mengusulkan bahwa penilaian estetika mencerminkan upaya untuk mengoptimalkan tingkat gairah psychobiological kita, yang secara langsung berkaitan dengan suka. Berlyne yang terkenal dengan teori influensial-nya juga mengenalkan apa yang disebut dengan teori U terbalik dalam dunia musik. Rangsangan artistik dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat gairah, dan teori U terbalik memprediksi bahwa orang lebih suka rangsangan yang menimbulkan gairah menengah daripada tingkat yang sangat tinggi atau sangat rendah.
Berbasis teori U terbalik dari Berlyne ini kita menduga bahwa stimuli artistic yang ditampilkan Fatin melalui media TV dan internet berada pada tingkat gairah yang “SANGAT DISUKAI” sebagian besar masyarakat. Mudah dicerna. Tidak sangat mewah. Tapi juga tidak buruk. Sesuai teori U terbalik ini, Fatin memperoleh akseptabilitas tinggi dari masyarakat. Untuk menelaahnya saya mencoba meninjaunya melalui 4 faktor yang diajukan Berlyne dalam menilai munculnya gairah (arousal) dan stimuli, yaitu: novelty (kebaruan), conflict, complexity dan uncertainty.
Novelty
CANTOR (1968) dalam Journal of Experimental Child Psychology, menyatakan “The nonfamiliarized stimuli was significantly more favorable than that given the familiarized stimuli”. Terkait dengan hal ini, Fatin membawa “nonfamiliarized stimuli”, membawa kebaruan. Dalam konteks kebaruan ini,
Dalam konteks novelty lainnya yang dibawa sosok Fatin adalah pada
penampilannya yang berhijab. Mulai dari yang sederhana saat audisi
hingga yang modis. Bahkan hijabnya ini, disamping karakter suaranya,
telah menimbulkan banyak sorotan dari disainer-disainer kondang.
Atas hijabnya ini pula wartawan Perancis memberikan ketertarikannya
sebagaimana yang disampaikan Anggun. Dan pada saat audisi XFI, ia
berseragam sekolah. Inipun setelah dirunut, telah menjadi pilihan judul
banyak tulisan dan Video di berbagai media, dan judul “anak sekolahan”
atau “anak SMA” telah mengacu “hanya” pada seorang Fatin.
Conflict
Fatin, sejak awal keikutsertaannya telah banyak memberikan konflik nyata (bukan konflik yang diskenariokan), kesalahan, lupa lirik, pembelaan juri, termasuk sifat pemalu dan kekakuan dalam aksi panggung. Respon positif masyarakat terhadap penampilan Fatin, sifat pemalu Fatin, hijab dan kesederhanaannya dinilai oleh Kompasianer “Toilet Bekas” sebagai antitesis terhadap hedonism. Penilaian ini menunjukkan adanya konflik nyata yang muncul setelah Fatin perform. Fakta lanjutan tentang konflik yang muncul adalah “debat” tiada henti antara hater vs lover hingga sekarang. Singkat kata apa yang digugatkan , misalnya oleh Bung Hakim Tobing terhadap kemenangan Fatin, bukannya menyurutkan “arousal” masyarakat terhadap siapa Fatin, tetapi justeru sebaliknya merupakan sebuah stimuli besar.
Complexity & Uncertainty
Kompleksitas subjektif selalu merupakan produk dari interaksi antara penampil dan stimulus. Kita lihat Fatin yang bersuara “bagus” namun berpenampilan sederhana di saat audisi, polos, dan sangat pemalu (tidak PeDe). Ini berlawanan dengan kebiasaan perform artis di panggung pada umumnya. Atau perform kontestan lain pada umumnya.
Tapi dalam prosesnya menuju ke jenjang final XFI rasa “PeDe” Fatin menjadi sangat kuat. Ini merupakan kompleksitas subjektif dan mungkin lebih sederhana dijelaskan dengan “Drive Theory” suatu model yang diperkenalkan oleh Zajonc. Model ini menyatakan bahwa kehadiran penonton meningkatkan gairah psikologis kontestan. Dan gairah psikologis kontestan akan memberikan stimuli gairah bagi penontonnya. Gairah yang demikian bersifat kompleks. Pro dan kontra, Hater dan Lover, perform bagus da perform gagal, serta ciri respon paradoksial lainnya yang merupakan produk kompleksitas subyektif.
Sebagaimana digambarkan oleh model ini, umumnya gairah akan bersifat cenderung menurunkan rasa “PeDe” pada tugas sulit yang tidak dipelajari atau belum lengkap dipelajari, tapi dapat meningkatkan rasa “PeDe” yang tinggi pada tugas-tugas yang sudah dengan baik-dipelajari! Itulah yang menjelaskan bagaimana Fatin dinilai pemalu di awal-awal penampilannya di XFI. Dan menjadi kuat setelah Rossa “menyalurkan” ilmunya kepada Fatin, juga didorong oleh membengkaknya jumlah Fatinistic telah memberikan “drive” yang kuat terhadap Fatin. Variabel kompleksitas (“rasa PeDe”) ini berjalan timbal balik antara Fatin ke penonton dan sebaliknya dari penonton ke Fatin.
Dalam konteks ketidakpastian “uncertainty”, secara sengaja atau tidak hal ini seolah-olah sudah merupakan ketentuan dari XFI bahwa genre lagu yang dibawakan kontestan berbeda dari waktu ke waktu. Yang menarik dari Fatin adalah bahwa semua orang menduga-duga dalam “ketidakpastian” apakah Fatin mampu menunaikan tugasnya sesuai “harapan” atau tidak. Kuriositi seperti ini menimbulkan gairah yang tak terelakkan dari pemirsa terutama Fatinistic. Kuriositi dari hater-pun menjadi tinggi ketika mereka berasumsi bahwa Fatin tidak akan mampu menyanyikan dengan baik atas suatu lagu sulit yang diberikan. Ketika Fatinistic berpikir lagu Lenka akan mudah dibawakan oleh Fatin dengan baik, ternyata kemudian Fatin tidak hapal liriknya. Ketika kemudian Fatin menyanyikan lagu kemenangannya yang berbahasa Indonesia “Aku memilih Setia” – ternyata Fatin membawakannya dengan sangat baik – berbeda dari anggapan bahwa Fatin hanya bagus dalam menyanyikan lagu barat. Penuh ketidakpastian. Dan itulah Fatin.
Dalam konteks kompleksitas dan ketidakpastian yang merupakan aspek murni dari teori informasi, kegairahan yang muncul semakin diperkuat oleh peran kompleks Fatinistic di media massa. Menurut Zajonc dalam tulisan Sluckin “mere repeated exposure of the individual to a stimulus is a sufficient condition for the enhancement of his attitude toward it”. Apa yang disediakan Fatinistic (misalnya Kurniawan TD atau Skakster dan banyak youtuber lainnya) terkait dengan sediaan video penampilan Fatin di XFI yang dilakukan secara kreatif, dan dengan ketersediaannya dalam jumlah yang signifikan dibandingkan video finalis lainnya, memperkuat premis Zajonc di atas. Dengan kata lain, Fatin semakin disukai masyarakat karena adanya “repeated exposure” yang memunculkan ke empat variable collative pada stimuli dan kegairahan. Exposure ini terus meningkat tajam karena berbagai media juga menggelindingkan “exposure” baru yang dirilis. Salah satunya adalah yang dilakukan Fatinistic di Kompasiana.
Saya menduga terhadap apa yang disanggahkan oleh Bung Hakim Tobing adalah karena yang bersangkutan tidak mengikuti proses XFI dari awal. Bung Hakim Tobing tidak memperoleh “exposure” yang memadai, sehingga menganggap XFI adalah kontes menyanyi seperti kontes menyanyi pada umumnya, oleh karena itu dapat dimaklumi apabila pendapatnya menjadi bias. Dan sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa apa yang digugatkan oleh Bung Hakim Tobing terhadap kemenangan Fatin, bukannya menyurutkan “arousal” masyarakat terhadap siapa Fatin, tetapi justeru sebaliknya merupakan sebuah stimuli besar terhadap peningkatan popularitas Fatin dan XFI.
Ringkasan
Berdasarkan teori dari Berlyne melalui penelaahan pada 4 faktor pemuncul stimuli dan kegairahan, satu kata kunci yang menurut penulis murni dibawa oleh Fatin pada XFI, yaitu “NOVELTY”. Dan ketika variabel utama itu diikuti oleh munculnya ke-tiga variabel lainnya - itulah yang saya sebut “mendekati” definisi faktor-X. Dan Fatin, memilikinya. Saya katakan dengan istilah “mendekati” karena tulisan ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut! Namun demikian saya berharap, sarjana psikologi atau sarjana-sarjan komunikasi dapat memberikan pencerahan lebih lanjut.
Selamat dan sukses bagi Fatin, Fatinistic dan XFI beserta para jurinya yang telah membawa “Novelty” bagi musik Indonesia.
SMA 28 Jkt, 28 Mei 2013 (kompasiana.com)
Artikel infobenar tentang X Factor Fatin Jangan Digugat Lagi!
Riset terkait dengan masalah “like” dan “dislike” terhadap music sudah banyak dilakukan. Penelitian estetika eksperimental juga banyak dilakukan dalam kaitannya menyelidiki hubungan antara respon terhadap stimuli estetika dan properti lainnya dari mereka, seperti kompleksitas, keteraturan, dan familiaritas. Dalam hal ini, riset yang dilakukan Berlyne menarik untuk disimak terkait pendefinisian factor X. Terlepas dari adanya kritik skolar pada teori Berlyne ini, Berlyne mengusulkan bahwa penilaian estetika mencerminkan upaya untuk mengoptimalkan tingkat gairah psychobiological kita, yang secara langsung berkaitan dengan suka. Berlyne yang terkenal dengan teori influensial-nya juga mengenalkan apa yang disebut dengan teori U terbalik dalam dunia musik. Rangsangan artistik dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat gairah, dan teori U terbalik memprediksi bahwa orang lebih suka rangsangan yang menimbulkan gairah menengah daripada tingkat yang sangat tinggi atau sangat rendah.
Berbasis teori U terbalik dari Berlyne ini kita menduga bahwa stimuli artistic yang ditampilkan Fatin melalui media TV dan internet berada pada tingkat gairah yang “SANGAT DISUKAI” sebagian besar masyarakat. Mudah dicerna. Tidak sangat mewah. Tapi juga tidak buruk. Sesuai teori U terbalik ini, Fatin memperoleh akseptabilitas tinggi dari masyarakat. Untuk menelaahnya saya mencoba meninjaunya melalui 4 faktor yang diajukan Berlyne dalam menilai munculnya gairah (arousal) dan stimuli, yaitu: novelty (kebaruan), conflict, complexity dan uncertainty.
Novelty
CANTOR (1968) dalam Journal of Experimental Child Psychology, menyatakan “The nonfamiliarized stimuli was significantly more favorable than that given the familiarized stimuli”. Terkait dengan hal ini, Fatin membawa “nonfamiliarized stimuli”, membawa kebaruan. Dalam konteks kebaruan ini,
- Bebi Romeo menyebutkan suara Fatin hanya muncul 100 tahun sekali.
- Achmad Dhani menguatkan pendapat Bebi Romeo yang mengatakan baru kali ini ketemu penyanyi seperti Fatin.
- Anggun mengatakan bila Fatin menyebut “la” sudah cukup untuk mengenalinya bahwa itu suara Fatin.
- Rossa sang penyanyi kawakan mengatakan “mampukah saya mengasahnya – karena Fatin membawa anugerah suara yang berbeda dari penyanyi lain pada umumnya”.
Conflict
Fatin, sejak awal keikutsertaannya telah banyak memberikan konflik nyata (bukan konflik yang diskenariokan), kesalahan, lupa lirik, pembelaan juri, termasuk sifat pemalu dan kekakuan dalam aksi panggung. Respon positif masyarakat terhadap penampilan Fatin, sifat pemalu Fatin, hijab dan kesederhanaannya dinilai oleh Kompasianer “Toilet Bekas” sebagai antitesis terhadap hedonism. Penilaian ini menunjukkan adanya konflik nyata yang muncul setelah Fatin perform. Fakta lanjutan tentang konflik yang muncul adalah “debat” tiada henti antara hater vs lover hingga sekarang. Singkat kata apa yang digugatkan , misalnya oleh Bung Hakim Tobing terhadap kemenangan Fatin, bukannya menyurutkan “arousal” masyarakat terhadap siapa Fatin, tetapi justeru sebaliknya merupakan sebuah stimuli besar.
Complexity & Uncertainty
Kompleksitas subjektif selalu merupakan produk dari interaksi antara penampil dan stimulus. Kita lihat Fatin yang bersuara “bagus” namun berpenampilan sederhana di saat audisi, polos, dan sangat pemalu (tidak PeDe). Ini berlawanan dengan kebiasaan perform artis di panggung pada umumnya. Atau perform kontestan lain pada umumnya.
Tapi dalam prosesnya menuju ke jenjang final XFI rasa “PeDe” Fatin menjadi sangat kuat. Ini merupakan kompleksitas subjektif dan mungkin lebih sederhana dijelaskan dengan “Drive Theory” suatu model yang diperkenalkan oleh Zajonc. Model ini menyatakan bahwa kehadiran penonton meningkatkan gairah psikologis kontestan. Dan gairah psikologis kontestan akan memberikan stimuli gairah bagi penontonnya. Gairah yang demikian bersifat kompleks. Pro dan kontra, Hater dan Lover, perform bagus da perform gagal, serta ciri respon paradoksial lainnya yang merupakan produk kompleksitas subyektif.
Sebagaimana digambarkan oleh model ini, umumnya gairah akan bersifat cenderung menurunkan rasa “PeDe” pada tugas sulit yang tidak dipelajari atau belum lengkap dipelajari, tapi dapat meningkatkan rasa “PeDe” yang tinggi pada tugas-tugas yang sudah dengan baik-dipelajari! Itulah yang menjelaskan bagaimana Fatin dinilai pemalu di awal-awal penampilannya di XFI. Dan menjadi kuat setelah Rossa “menyalurkan” ilmunya kepada Fatin, juga didorong oleh membengkaknya jumlah Fatinistic telah memberikan “drive” yang kuat terhadap Fatin. Variabel kompleksitas (“rasa PeDe”) ini berjalan timbal balik antara Fatin ke penonton dan sebaliknya dari penonton ke Fatin.
Dalam konteks ketidakpastian “uncertainty”, secara sengaja atau tidak hal ini seolah-olah sudah merupakan ketentuan dari XFI bahwa genre lagu yang dibawakan kontestan berbeda dari waktu ke waktu. Yang menarik dari Fatin adalah bahwa semua orang menduga-duga dalam “ketidakpastian” apakah Fatin mampu menunaikan tugasnya sesuai “harapan” atau tidak. Kuriositi seperti ini menimbulkan gairah yang tak terelakkan dari pemirsa terutama Fatinistic. Kuriositi dari hater-pun menjadi tinggi ketika mereka berasumsi bahwa Fatin tidak akan mampu menyanyikan dengan baik atas suatu lagu sulit yang diberikan. Ketika Fatinistic berpikir lagu Lenka akan mudah dibawakan oleh Fatin dengan baik, ternyata kemudian Fatin tidak hapal liriknya. Ketika kemudian Fatin menyanyikan lagu kemenangannya yang berbahasa Indonesia “Aku memilih Setia” – ternyata Fatin membawakannya dengan sangat baik – berbeda dari anggapan bahwa Fatin hanya bagus dalam menyanyikan lagu barat. Penuh ketidakpastian. Dan itulah Fatin.
Dalam konteks kompleksitas dan ketidakpastian yang merupakan aspek murni dari teori informasi, kegairahan yang muncul semakin diperkuat oleh peran kompleks Fatinistic di media massa. Menurut Zajonc dalam tulisan Sluckin “mere repeated exposure of the individual to a stimulus is a sufficient condition for the enhancement of his attitude toward it”. Apa yang disediakan Fatinistic (misalnya Kurniawan TD atau Skakster dan banyak youtuber lainnya) terkait dengan sediaan video penampilan Fatin di XFI yang dilakukan secara kreatif, dan dengan ketersediaannya dalam jumlah yang signifikan dibandingkan video finalis lainnya, memperkuat premis Zajonc di atas. Dengan kata lain, Fatin semakin disukai masyarakat karena adanya “repeated exposure” yang memunculkan ke empat variable collative pada stimuli dan kegairahan. Exposure ini terus meningkat tajam karena berbagai media juga menggelindingkan “exposure” baru yang dirilis. Salah satunya adalah yang dilakukan Fatinistic di Kompasiana.
Saya menduga terhadap apa yang disanggahkan oleh Bung Hakim Tobing adalah karena yang bersangkutan tidak mengikuti proses XFI dari awal. Bung Hakim Tobing tidak memperoleh “exposure” yang memadai, sehingga menganggap XFI adalah kontes menyanyi seperti kontes menyanyi pada umumnya, oleh karena itu dapat dimaklumi apabila pendapatnya menjadi bias. Dan sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa apa yang digugatkan oleh Bung Hakim Tobing terhadap kemenangan Fatin, bukannya menyurutkan “arousal” masyarakat terhadap siapa Fatin, tetapi justeru sebaliknya merupakan sebuah stimuli besar terhadap peningkatan popularitas Fatin dan XFI.
Ringkasan
Berdasarkan teori dari Berlyne melalui penelaahan pada 4 faktor pemuncul stimuli dan kegairahan, satu kata kunci yang menurut penulis murni dibawa oleh Fatin pada XFI, yaitu “NOVELTY”. Dan ketika variabel utama itu diikuti oleh munculnya ke-tiga variabel lainnya - itulah yang saya sebut “mendekati” definisi faktor-X. Dan Fatin, memilikinya. Saya katakan dengan istilah “mendekati” karena tulisan ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut! Namun demikian saya berharap, sarjana psikologi atau sarjana-sarjan komunikasi dapat memberikan pencerahan lebih lanjut.
Selamat dan sukses bagi Fatin, Fatinistic dan XFI beserta para jurinya yang telah membawa “Novelty” bagi musik Indonesia.
SMA 28 Jkt, 28 Mei 2013 (kompasiana.com)
Artikel infobenar tentang X Factor Fatin Jangan Digugat Lagi!
0 komentar for "X Factor Fatin Jangan Digugat Lagi!"
Leave a reply